Minggu, 10 Januari 2010

KOTA MATI

Bruukk…
Tas yang semula kujinjing sejak turun dari bis, kujatuhkan begitu saja dipermukaan jalanan yang sedikit berdebu. Untuk sesaat, tubuhku mematung. Mataku seakan asing menatap pemandangan yang ada didepanku, padahal seharusnya aku terbiasa dengan apa yang kulihat saat ini. Tapi, disinilah sekarang aku berdiri, di sebuah kota yang selama sekian tahun tak pernah kuusik lagi ketenangannya.
Ternyata perasaan itu masih belum hilang juga. Saat aku akhirnya kembali kesini, hatiku seperti hampa akan sesuatu. Langkah ini terasa berat, dengan pandangan yang tiba-tiba mengabur, dan… aku seperti tak mengenali segala bentuk kehidupan disini. Mungkin yang ini fakta. Para pemuda di kota ini telah banyak yang pergi merantau dan tak pernah kemabli, sehingga kota menjadi sepi. Tapi yang ini lagi hanyalah imaji. Aku tak bisa mengenali warna apapun yang ada disini. Apa aku memang punya bibit buta warna, aku juga tidak tahu. Seakan semua dalam pandanganku hanyalah hitam dan putih. Kembali timbul pertanyaan yang selama ini kuredam jauh, “Sampai kapan aku akan merasa seperti ini?”
Setelah melalui perjalanan kedua yang sedikit jauh apalagi kutempuh dengan berjalan kaki, untuk kedua kalinya, aku mematung didepan sebuah rumah putih berpagar teralis. Ternyata rumah ini sejak dulu juga tak pernah berubah, mungkin papa yang mengatur semuanya. Ia ingin saat aku pulang kemari, aku masih melihat rumah yang sama dengan taman bunga dihalaman depan yang jadi tempat favoritku menghabiskan waktu sore bersama mama disana, berbagi cerita tentang apa yang aku dan mama lewati hari itu. Tapi itu dulu, saat mama masih ada dalam keluarga kami, saat masih kutemukan senyuman mama disana. Yang kini ada hanya bayangan mama yang semakin memudar dimakan waktu yang tak pernah berhenti berputar.
“Non Airin…!” seru Pak HArun, satpam yang telah mengabdi dikeluarga kami sejak papa membangun rumah ini, dengan wajah berbinar campur kaget. Bergegas ia membukakan pintu pagar dan menyambutku.
“Akhirnya Non Airin pulang juga! Duuh… Pak Harun sudah lama sekali nggak ngeliat Non Airin. Sekarang Non Airin sudah tambah cantik ya, badannya juga… sedikit berisi…,” ungkap lelaki setengah baya itu malu-malu. Ternyata sifat periangnya masih seperti yang dulu, bisik hatiku.
“Pak Harun bisa aja,” komentarku singkat.
“Ayo Non… saya antar kedalam…,” ajaknya seraya mengambil tas yang kujinjing ditanganku.
Sambil melangkah, aku masih berpikir kalau saat ini aku sedang bermimpi kembali kesini. Rumah putih ini sempat membuatku merasa jadi manusia paling bahagia didunia. Aku punya mama dan papa yang begitu menyayangiku, dan rumah ini selalu menghadirkan rindu dihatiku untuk kembali kesini. Aku menemukan ceriaku, senyumku, dan hidupku dirumah ini. Tapi semua tak lagi setelah kepergian mama karena kanker otak yang dideritanya. Meskipun kasih sayang papa tak pernah berkurang, tapi aku tetap merasa hidupku tak sesempurna yang dulu. Dan aku memutuskan untuk kembali kesini lagi.
Nafasku sedikit tertahan saat Pak Harun mengetuk pintu, dan seraut wajah yang akrab dimataku muncul.
“Airin!!!” seru papa yang seketika itu menenggelamkan aku kedalam pelukannya.
“Akhirnya kamu pulang juga, nak…,” tutur papa pilu. Aku terdiam saja, menikmati suasana haru yang sudah kuduga pasti akan kurasakan di hari kepulanganku ini. Aku tahu papa sangat merindukanku. Berkali-kali ia memintaku untuk pulang kerumah, yang selalu kubantah dengan alasan kesibukan kuliahku. Hingga akhirnya hari ini aku pulang tanpa ia minta.
“Airin…,” sapa sebuah suara lembut. Wajah cantik Tante Lisa tersenyum padaku. Aku menghambur memeluknya, sebentar.
“Tante apa kabar?” tanyaku singkat.
“TAnte baik-baik aja kok, Rin. Yuk, masuk kedalam,” ajaknya menggamit tanganku.
Saat kaki kananku menijak lantai rumah ini, aku seperti tersihir oleh kenyataan dan kenangan. Aku nyata berada dirumah ini lagi, yang jelas-jelas tak ada satu pun yang berubah didalamnya. Tapi justru kesamaan rumah ini dari dulu sampai sekarang seolah membawaku kembali hidup dalam kenanganku. Dimana dulu, mama selalu duduk di ruang tv menunggu aku pulang dari sekolah, juga meja makan yang selalu lengkap penghuninya saat waktu dinner tiba karena aku, papa, dan mama makan bersama, dan temapt-tempat lain didalam rumah ini yang membuatku teringat semua tentang mama. Pertanyaan kedua, kembali menggaung disudut hatiku, “Apakah aku yakin akan keputusanku sekarang untuk kembali kerumah ini?”
“Istirahat dulu ya,” ujar papa singkat. Aku membalasnya dengan senyuman.
“Papa senang akhirnya kamu mau pulang juga,” timpalnya lagi.
Knop pintu diputar, dan kamarku terbuka. Tercium aroma Ambipur Lavender yang kupilih sebagai pengharum ruanganku. Tas kuletakkan begitu saja disudut kamar, lalu aku merebahkan diri diatas tempat tidurku, melemaskan seluruh oto tubuh yang semula kurasa kaku. Tanpa sengaja aku menoleh kesisi kanan tempat tidurku. Diatas meja kecil tempatku meletakkan lampu tidur, duduk manis sebuah pigura berbentuk bintang. Aku bangun, dan kuarahkan tanganku mengambil pigura itu. Serentak air mataku menetes, kenangan yang seharusnya tak akan pernah terusik, kini muncul ke permukaan hati bersama sayatan luka.
“Airin, tante boleh masuk?” panggil Tante Lisa dari balik pintu kamarku. Cepat-cepat kuhapus air mata dipipiku.
“Masuk aja, te… Nggak dikunci kok!” seruku padanya. Wanita itu tersenyum ramah.
“Ini, tante bawakan es the dan kue untuk kamu. Kamu pasti lapar dan haus setelah menempuh perjalanan jauh. Ayo, diminum dulu,” suruh tante sambil meletakkan nampan diatas meja. Ia duduk disampingku.
“Makasih ya, te…,” jawabku singkat.
Wanita itu mengalihkan pandangannya pada pigura yang kupegang. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil.
“Yudi…,” lirihnya pelan. Aku ikut memandangi foto didalam pigura yang kupegang ini. Air mataku kembali mengalir.
“Tante, apa tante masih menyalahkan aku?” tanyaku pelan. Hening singgah sesaat diantara kami.
“Dulunya… tante memang menganggap kamu bersalah atas kematiannya. Coba kalau dia nggak kangen sama kamu, dia nggak perlu pulang kesini lagi, naik pesawat sialan yang udah dipasangi bom itu, dan dia… dia nggak perlu mati!!” tutur Tante Lisa dengan sura tertahan.
“Tapi aku nggak tahu kalau semuanya akan jadi begini, Te…,” lirihku dengan tangis yang makin menjadi.
“Seandainya… tante yang ada diposisi aku…,” ujarku terputus oleh ocehan Tante Lisa lagi.
“Tante nggak terima aja waktu tahu kalau dia pulang kesini untuk menemui kamu. PAdahal kalian nggak pernah ketemu lagi sejak lulus SMA. Jadi kenapa harus kamu yang dia kangenin? Kenapa bukan tante? Toh tante ini juga mantan pacarnya waktu kami kuliah dulu. JAdi seharusnya… seharusnya dia pulang karena kangen sama tante, dan bukannya kamu Rin…,” sekali lagi Tante Lisa membuatku terpojok oleh kata-katanya. Kembali aku disalahkan olehnya, seperti 3 tahun yang lalu, dihari pemakaman Yudi, Tante Lisa mengamuk padaku didepan umum. TApi aku bersyukur karena keluarga Yudi tidak ikut-ikutan memvonisku bersalah, dan malah mereka yang berusaha melerai perang mulut diantara aku dan Tante Lisa.
“Tapi itu dulu, Rin… Setelah sekian tahun, akhirnya tante bisa terima kalau sebenarnya semua ini sudah diatur oleh Tuhan, bukan kehendak kita sendiri. Meskipun kadang masih saja tante nggak bisa terima kenyataan ini… tapi sudahlah! Yudi sekarang hanya jadi bagian dari masa lalu kita, Rin. Dan kita nggak seharusnya mengungkit-ngungkit lagi kesalahan yang pernah kita lakukan di masa lalu,” ungkap Tante Lisa yang diakhirinya dengan helaan nafas. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri.
“Tante…,” oanggilku lembut. Wanita itu menoleh, dan kuberikan senyum terluka_ku padanya.
“Mau nggak ikut Airin dan papa jalan-jalan sore ini?” tanyaku lagi. Wanita itu tersenyum, lalu memelukku. Sudah lama aku tak merasakan pelukan sehangat ini, seperti pelukan mama. Dan kini aku benar-benar yakin kalau papa pasti bahagia bersama Tante Lisa, karena dalam diri wanita ini papa juga bisa menemukan kasih sayang mama yang dulu setia menemaninya.
***
Kunikmati setiap jengkal kota yang kutangkap dengan pandanganku. Aku seperti melihat lagi langkah-langkah kenangan aku dan Yudi yang seolah menari dengan leluasa di kota ini, mencatat sejarah tentang keberadaan kami disini dalam sebuah catatan kota tentang “kasih” dan “sayang”. Mungkin, sudah saatnya kubiarkan semua sisa mimpi yang pernah kami gantung disini, tetap bertahan disini. Aku juga tak akan mengeluh lagi tentang warna yang hanya bisa kulihat yaitu hitam dan putih saat aku kembali ke kota ini, karena kurasa kedua warna itu cukup menjadi lambang dari semua kenangan itu. Aku tak ingin bersuara lebih banyak disini, karena aku yakin selamanya suaraku akan mengering dan tak akan terdengar lagi di kota ini. Sudah saatnya, kota ini menjadi kota mati yang keberadaannya tak akan kucari lagi dihatiku. Kota, dimana aku tak bisa lagi menemukan senyum dari orang-orang yang kucintai. Kota, yang hanya jadi tempat penguburan kisah hidupku sekian tahun sebelumnya.
Ku peluk erat nisan mama yang sudah 3 tahun tak kukunjungi. Kerinduan yang tak kan tergantikan memnuhi nuraniku kembali.
“Mama, maafkan Airin ya… Airin jarang pulang nengokin mama… Airin harap mama ngerti… Airin kangen sama mama…,” lirihku pelan. Dan kami pun meninggalkan area peristirahatan terakhir setiap manusia yang hidup di bumi ini.
“Papa, tante… aku pulang besok subuh1” putusku singkat. Keduanya memandangiku sejenak, tanpa berkata apapun.
Mungkin suatu saat nanti aku akan kembali lagi ke kota ini, meskipun suatu saat itu entah berapa hari, minggu, bulan, dan tahun lagi. Setidaknya aku tahu kalau aku mengenal sebuah “kota mati” dalam hidupku, yang bisa “kuziarahi”, tanpa keinginan untuk tetap berada disana. ***

andai

saya heran dengan yang saya pikirkan
saya bingung dengan apa yang saya lihat
saya bosan
saya..................................
ingin rasanya marah, menangis meminta pertanggungjawaban tapi apa gunanya
untuk siapa saya menangis?
untuk siapa saya meminta pertanggungjawaban?
Apa untuk mereka yang tinggal di kolong jembatan tol, yang kini tak tahu akan tinggal di mana karena para penguasa yang merasa tahu segalanya telah mengusir mereka
Ataukah untuk para wakil rakyat yang sedang tidur nyenyak setelah makan uang rakyat
apakah gunanya saya meminta pertanggungjawaban wong mereka pun ndak merasa bersalah karena ndak merasa punya salah, jadi....................................siapa yang akan mulai mengakhiri semua ini
Apa tidak cukup peringatan yang diberikan oleh Tuhan..................
Apa kita belum tersadar setelah hampir semua daerah di negara ini pernah tertimpa musibah
Apa harus Tuhan memusnahkan semua makhluk dimuka bumi ini baru kita tersadar?
kemana perginya cita-cita luhur bangsa Indonesia, bangsa yang kita cintai ini yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945.
Duhai engkau yang sedang tidur nyenyak, bangunlah................mari bangkit!!!.........bangkit mari kita bersama-sama memperbaiki negeri ini, negeri yang kita cintai.
cukup!!!!!!!!!! cukup sudah semua ini, jangan ada lagi penderitaan karena kita semua sama makhluk Tuhan apa salahnya kita saling menutupi luka dan tangis saudara kita
Para penguasa kurangilah tidur karena masih banyak anak bayi yang menangis karena menggigil kedinginan di kala malam, lihatlah mereka bayi mungil nda berdosa, namun...................biarlah yang sudah terjadi, tapi....................
Tuhan kumohon satukanlah hati kami, agar ndak ada lagi rasa saling curiga yang itu akan memecah belah negara ini......................



ika, kartini kangen banget dengan suasana dulu dimana ga pernah kita dengar kata sedih anak yang menangis karena kehilangan ayahnya
ayah yang tega membunuh anaknya
guru yang tega memukul muridnya
kepala negara yang tega pergi hura-hura di saat rakyat menjerik kelaparan
ika akankah keadilan itu ada
akankah persatuan dan kesatuan bagi RI ini
akankak kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa
akankah ada rasa saling sayang di hati kita
akankah ada rasa iklas dan tulus membantu tanpa pamri maupun dipuji
ika, mohon doanya agar cita-cita itu dan impian itu terkabul semoga di bulan ramadhan ini Alllah menurunkan rahmatnya amin ya Allah